(REUTERS/Yusuf Ahmad) |
Sekolah mandeg. Guru-guru memilih jadi penambang emas. Elin Yunita Kristanti, Angkotasan (Ambon)
VIVAnews -- Semula tak ada yang berani memasuki tanah keramat Gunung Botak di Desa Wamsait, Kabupaten Buru. Namun, kondisi kini nya berubah 180 derajat. Perbukitan rusak parah, pepohonan tumbang, lubang-lubang sedalam 10-30 meter menganga mengundang bahaya, terowongan ruwet di mana-mana. Rumput dan semak pun mati diinjak ribuan orang yang terus berdatangan. Demi mengeruk emas.
Temuan tambang emas di kawasan Pulau Buru memang menjanjikan berkah dan kekayaan bagi warga Namlea dan Kabupaten Buru. Banyak orang kaya mendadak. Namun, harga yang harus dibayar luar biasa mahal.
Salah satunya, virus mematikan:HIV/AIDS. Sudah empat pekerja seks komersial (PSK) diketahui positif mengidap HIV.
Kondisi ini mendapat perhatian serius pemerintah Kabupaten Buru yang langsung melakukan berbagai sosialisasi pencegahan penularan virus tersebut. Tak tanggung-tanggung pemerintah bersama aparat kepolisian juga kerap melakukan razia di hotel dan penginapan yang ada di Pulau Buru.
Tapi situasi akan sulit dikendalikan karena jumlah PSK yang tidak terdata dan juga meningkatnya angka eksodus tiap harinya yang masuk Pulau Buru sebagai penambang bakal menyulitkan pemerintah dalam mencegah penularannya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten, sudah empat orang terkena virus HIV, ini yang harus diantisipasi," akui Bupati Kabupaten Buru Ramli Umasugi.
Guru tak mau mengajar
Tak hanya itu, mahalnya nilai jual emas juga membuat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Perikanan yang berada di Desa Kayeli berhenti beraktivitas.
Para guru lebih memilih jadi penambang emas dadakan sejak tiga bulan terakhir, ketimbang mengurusi anak didiknya yang berjumlah puluhan orang.
"Anak-anak kami sudah tak lagi menuntut ilmu, karena sejak tiga bulan lalu, tidak ada guru yang datang ke sekolah," akui salah satu orang tua wali murid kepada Anggota DPD-RI Anna Latuconsina.
Dampak yang sama juga dialami Sekolah Dasar (SD) di Desa Kayeli yang anak didiknya pulang lebih awal dari jadwal normal. Lagi-lagi penyebabnya para guru ikut mendulang emas di Gunung Botak.
Picu Bentrokan
Kepala Sekolah SD tersebut mengakui "demam" emas Gunung Botak sangat memukul dunia pendidikan di Desa Kayeli. Sebab para guru sudah tak lagi mendengar perintah pimpinan dan berani meninggalkan tugas utamanya sebagai tenaga pendidik.
"Mereka berharap pemerintah daerah segera menyelamatkan dunia pendidikan di sana, jika tidak maka akan mengancam masa depan generasi muda di sana," kata Latuconsina Minggu 4 November 2012.
Itu belum termasuk risiko hilangnya nyawa akibat longsor maupun konflik. Pada 11 Juli lalu misalnya, bentrok antarwarga terjadi akibat perebutan wilayah yang mengandung sumber daya emas tinggi antara sekelompok oknum warga Ambalau dengan masyarakat adat Kabupaten Buru. Akibatnya, empat orang tewas dan sejumlah orang luka-luka. (ren)
Temuan tambang emas di kawasan Pulau Buru memang menjanjikan berkah dan kekayaan bagi warga Namlea dan Kabupaten Buru. Banyak orang kaya mendadak. Namun, harga yang harus dibayar luar biasa mahal.
Salah satunya, virus mematikan:HIV/AIDS. Sudah empat pekerja seks komersial (PSK) diketahui positif mengidap HIV.
Kondisi ini mendapat perhatian serius pemerintah Kabupaten Buru yang langsung melakukan berbagai sosialisasi pencegahan penularan virus tersebut. Tak tanggung-tanggung pemerintah bersama aparat kepolisian juga kerap melakukan razia di hotel dan penginapan yang ada di Pulau Buru.
Tapi situasi akan sulit dikendalikan karena jumlah PSK yang tidak terdata dan juga meningkatnya angka eksodus tiap harinya yang masuk Pulau Buru sebagai penambang bakal menyulitkan pemerintah dalam mencegah penularannya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten, sudah empat orang terkena virus HIV, ini yang harus diantisipasi," akui Bupati Kabupaten Buru Ramli Umasugi.
Guru tak mau mengajar
Tak hanya itu, mahalnya nilai jual emas juga membuat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Perikanan yang berada di Desa Kayeli berhenti beraktivitas.
Para guru lebih memilih jadi penambang emas dadakan sejak tiga bulan terakhir, ketimbang mengurusi anak didiknya yang berjumlah puluhan orang.
"Anak-anak kami sudah tak lagi menuntut ilmu, karena sejak tiga bulan lalu, tidak ada guru yang datang ke sekolah," akui salah satu orang tua wali murid kepada Anggota DPD-RI Anna Latuconsina.
Dampak yang sama juga dialami Sekolah Dasar (SD) di Desa Kayeli yang anak didiknya pulang lebih awal dari jadwal normal. Lagi-lagi penyebabnya para guru ikut mendulang emas di Gunung Botak.
Picu Bentrokan
Kepala Sekolah SD tersebut mengakui "demam" emas Gunung Botak sangat memukul dunia pendidikan di Desa Kayeli. Sebab para guru sudah tak lagi mendengar perintah pimpinan dan berani meninggalkan tugas utamanya sebagai tenaga pendidik.
"Mereka berharap pemerintah daerah segera menyelamatkan dunia pendidikan di sana, jika tidak maka akan mengancam masa depan generasi muda di sana," kata Latuconsina Minggu 4 November 2012.
Itu belum termasuk risiko hilangnya nyawa akibat longsor maupun konflik. Pada 11 Juli lalu misalnya, bentrok antarwarga terjadi akibat perebutan wilayah yang mengandung sumber daya emas tinggi antara sekelompok oknum warga Ambalau dengan masyarakat adat Kabupaten Buru. Akibatnya, empat orang tewas dan sejumlah orang luka-luka. (ren)
© VIVA.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar