(VIVAnews/Fernando Randy) |
Selain hukuman denda, penimbun juga terancam 8 tahun penjara.
VIVAnews - Undang-Undang Pangan telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 18 Oktober lalu. Pengesahan itu bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia. Undang-Undang ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum dalam membangun kedaulatan pangan nasional."Kata Soekarno, bila suatu negara tidak mandiri dalam hal pangan maka akan mengancam kedaulatan negara," kata Anggota Panja RUU Pangan Viva Yoga dalam keterangan tertulisnya, Minggu 21 Oktober 2012.
Yoga menjelaskan dalam Undang-Undang tersebut terdapat poin penting mengenai pelaku penimbunan. Mereka dapat dihukum maksimal 8 tahun kurungan penjara.
"Dalam hal pelaku usaha pangan melakukan penimbunan, maka akan kena sanksi berupa pencabutan izin, dipenjara maksimal 8 tahun dan mengganti kerugian sebesar-besarnya Rp 100 Miliar," kata Wakil Fraksi PAN ini.
Viva Yoga mengatakan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya diwajibkan kepada negara, karena bagian dari HAM yang dijamin UUD 1945. Negara berkewajiban membangun kedaulatan pangan yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Viva menjelaskan dalam UU Pangan no 7 tahun 1996 pemenuhan kebutuhan pangan hanya di tingkat rumah tangga. Kini dengan UU yang baru di tingkat perseorangan, maka dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
UU tersebut, kata Viva Yoga, juga menjelaskan cadangan pangan untuk menghadapi masalah kekurangan pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. Ia mengatakan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota dan desa berkewajiban mengelola, menguasai dan menyediakan pangan sesuai tingkatannya.
Pemerintah, kata dia, berkewajiban mengelola stabilisasi pasakon, cadangan, distribusi dan harga pangan pokok. "Dalam realitasnya sampai saat ini harga dan pasokan pangan masih dikuasai dan dikendalikan oleh mafia pangan," kata dia.
Viva Yoga melanjutkan, negara tersubordinasi dan tidak berdaya akibat pangan masuk ke dalam liberalisasi pasar. "Karena pasar tidak sempurna, maka negara sulit mengendalikan harga dan pasokan pangan. Para mafia tidak berpikir bagaimana petani sejahtera, negara berdaulat, tapi mereka hanya berorientasi kepada keuntungan dan mungkin saja ada motif politik lain yang menyertainya," kata dia.
Untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional maka dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.
"Lembaga ini dapat mengusulkan kepada presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada BUMN di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan dan atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan pemerintah," kata Yoga.
Untuk itu, pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan presiden (Perpres) agar lembaga ini segera terbentuk dan bekerja. Bila tidak, lanjutnya, maka pemerintah dianggap tidak serius dalam membangun kedaulatan pangan, meski pemerintah diberi waktu paling lambat 3 tahun untuk membentuk lembaga pangan ini.
Selain itu impor pangan hanya dapat dilakukan jika produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Untuk pangan pokok, misalnya beras, jagung, kedele, impor hanya dilakukan jika produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi.
Impor pangan atau pangan pokok juga tidak boleh menyengsarakan petani, nelayan, pengusaha pangan, pembudidaya ikan. "Jangan sampai impor justru merusak harga. Bila itu terjadi maka negara telah gagal melindungi petani atas nama impor," kata dia.
© VIVA.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar