AKHIR nasib Yasser Arafat begitu mengenaskan. Entah diracun. Entah ia ditikam juga dari belakang. Prestasi-prestasi yang dicapai dari perjuangan politik dan perundingan damainya selama ia hidup ternyata tidak lebih dari keberhasilannya membangun Otoritas Palestina (OP) di atas tanah berukuran 4.5% dari wilayah Palestina.
Realitas ini memperteguh keyakinan faksi-faksi perlawanan bersenjata Palestina bahwa bahasa “perundingan” dan “kesepakatan damai” tetap tidak dipahami Israel. Dan mereka berkesimpulan bahwa bahasa yang dipahami Israel hanya “lughat al-quwwah wa al-rashash” (bahasa kekuatan dan peluru).Perlawanan yang dilakukan melalui intifadhah yang lahir tanggal 8 Desember 1987-1994, berjalan seiring dengan al-maddu al-Islami (kebangkitan gerakan Islam) di Palestina dengan dimotori gerakan Syeikh Ahmad Yasin (al-Ikhwan al-Muslimun) di Gaza yang termanifestasi dalam sayap jihadnya, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas). Dalam akhir statemen pendeklarasian Hamas (15 Desember 1987) dengan tegas menyatakan : ” Peperangan kita adalah perang akidah, eksistensial dan kehidupan.”
Kebangkitan inilah yang menjadi spirit baru dalam perlawanan, sehingga wujud resistensi yang semula dilakukan dengan batu dan ketapel, berkembang menjadi perlawanan dengan senjata serang M-16 dan AK-47 dan al-’amaliyyah al-istisyhadiyyah (operasi bom syahid) yang menurut penelitian yang dilakukan oleh Jafi for Strategic Studies di Tel Aviv University (9/2002) bahwa senjata ini sangat pamungkas dan mengancam eksistensi Israel.
Namun pasca peristiwa WTC 11 September 2001, berbagai pressures datang bertubi-tubi kepada faksi-faksi perlawanan, baik yang dilakukan oleh OP, pimpinan negara-negara Arab, elit politik Amerika dan Eropa, sehingga volume operasi bom syahid sangat berkurang. Tetapi semua tekanan tersebut tetap tidak berdaya menghentikan Intifadhah jilid 2 yang memasuki tahunnya yang ke-5.
Ketika pada tahun 2004, dengan masuknya persenjataan roket Qassam 1,2 dan 3 (25 km), dan anti-tank Battar, sesungguhnya Israel menghadapi ancaman riil dari perlawanan Intifadhah. Pada 28 Juni tahun tersebut lalu, Roket Qassam yang primitive dan hand-made ini berhasil menjatuhkan korban untuk pertama kali di pemukiman Sderot, barat kota Negev. Peristiwa ini menjadi perbincangan hangat para elit militer Israel yang mengkhawatirkan perkembangan persenjataan Hamas ini yang dapat mentarget lokasi-lokasi strategis Israel di mana mendatang.
Kondisi ini membuat seorang analis militer Israel, Alex Fishman menyadari bahwa roket Qassam menjadi bahaya strategis masa depan Israel. Ia menyerukan pihak keamanan untuk berpacu dengan waktu karena “medan permainan” telah berubah. Fishman mengatakan : “Musuh kita yang paling substansial sekarang dan tahun-tahun mendatang adalah roket Qassam dan bukan Syahab (Iran).”
Dan bahkan seorang penasehat top Ariel Sharon, Eyal Arad menyaksikan keajaiban terjadi di tengah masyarakat Palestina yang dengan gegap gempita menyongsong kematian dengan penuh keberanian dan suka cita. Ia mengatakan : “70% bangsa Palestina berkeyakinan bahwa mereka adalah pemenang.”
Israel modern kini dalam dilema besar menghadapi Intifadhah yang tak kunjung dapat dipadamkan kendati bekerja sama dengan siapapun yang keluar sebagai pengganti Arafat—dalam hal ini Mahmoud Abbas. Karena Intifadhah berprinsip : “Selama masih ada penjajahan, perlawanan tidak akan pernah berhenti.” Wallohu alam bi showwab.
By Admin Islampos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar